Budaya Tandingan (Counterculture) dan Konsumerisme

Pasca perang dunia kedua tahun 50’an kondisi perekonomian negara-negara peserta perang mulai pulih kembali khususnya di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Kondisi tersebut diiringi oleh munculnya paham-paham tertentu dan kehidupan yang konservatif. Pada era 60’an mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dengan paham yang konservatif tersebut yang didominasi oleh generasi muda. Berawal dari kesadaran kritis tersebut muncullah gerakan-gerakan sosial baru yang menantang tatanan sosial yang telah mapan di dalam masyarakat. Gerakan tersebut menawarkan alternatif kehidupan sehari-hari salah satunya yang terdapat dalam counterculture. Disisi lain, dalam kondisi yang sejahtera diiringi dengan tren sistem ekonomi kapitalisme memicu adanya budaya konsumtif dalam masyarakat Barat. Budaya konsumsi tersebut ditandai dengan adanya kegiatan industri yang memfokuskan produksi dalam jumlah massal.

Counterculture mempunyai sejarah perlawanan yang cukup kental terhadap tatanan sosial yang telah mapan pada masanya. Budaya tandingan melawan tatanan sosial yang telah dikuasai oleh kelompok dominan, salah satunya adalah kapitalisme. Tatanan sosial yang telah mapan dipertanyakan dan dianggap penuh dengan penindasan dan ketidakadilan. Namun, seiring berjalannya waktu terdapat perubahan dalam cara pandang maupun gerakan perlawanannya. Counterculture semakin conform dengan zamannya, mereka tidak lagi menjadi ancaman terhadap sistem tapi mereka adalah sistem itu sendiri (Heath dan Potter 2005). Segala atribut counterculture menjual di pasaran, semangat pemberontakan itu sendiri berubah menjadi semangat untuk mengonsumsi agar diidentikan dengan suatu identitas tertentu.

Subculture dan Counterculture

Subculture dan counterculture merupakan dua konsep yang mempunyai banyak kemiripan. Pendefinisian kedua konsep tersebut sangat beragam dan terkadang tumpang tindih. Definisi tentang subculture salah satunya mengacu pada variasi budaya yang ditampilkan oleh segmen tertentu dalam populasi (Komarovsky dan Sargent dalam Jenks 2004). Di dalam masyarakat terdiri dari berbagai sub-kelompok, yang mempunyai karakterisitik cara berpikir dan berperilaku sendiri, sub-budaya yang ada di dalam budaya secara umum disebut dengan subculture (Mercer dalam Jenks 2004). Dengan kata lain, terdapat suatu sub-budaya dalam suatu budaya dominan.

Sedangkan counterculture Menurut Dessaure (1971, dalam Desmond, McDonagh dan O’Donohoe, 2000) mengacu pada sistem norma dan nilai yang koheren yang tidak hanya berbeda dari sistem dominan (baca: subculture) tapi juga terdiri paling tidak dari satu norma atau nilai yang membutuhkan komitmen perubahan budaya (cultural change), yang ditujukan dalam rangka transformasi sistem nilai dan norma yang dominan. Counterculture dilihat sebagai sistem nilai yang koheren dan secara substantif berbeda dari mainstream. Di dalam definisi tersebut terdapat semangat perubahan bagi penganutnya dan berimplikasi pada suatu kesadaran kritis. Selain itu, bagi penganut counterculture terdapat rasa ingin diakui dan mencoba untuk terus menantang mainstream (Desmond, McDonagh dan O’Donohoe, 2001).

Perbedaan antara subculture dan counterculture cukup jelas diberikan oleh Braungart dan Braungart (1994 dalam Desmond, McDonagh dan O’Donohoe, 2001) yang menyatakan kelompok subculture mempunyai kecenderungan untuk menarik diri dari masyarakat konvensional, sedangkan counterculture adalah kelompok yang cenderung bersifat menolak dan konfrontasional dalam istilah yang ekspresif (punk) atau terlibat dalam aktivitas politik pemberontakan.

Sepakat dengan Braungart dan Braungart, Langman (1971 dalam Desmond, McDonagh dan O’Donohoe, 2001) dia berpendapat bahwa counterculture mempunyai kecenderungann untuk mencari transvaluasi dari etika, gaya hidup alternatif, dan transformasi kesadaran. Dia menyebutnya dengan ”youth culture” yang lebih ideologis, mempunyai tema atau gaya, suatu kelompok yang didesain secara jelas. Terdapat ideologi dalam suatu counterculture dan suatu gaya hidup yang khas bagi para penganutnya.

Konsumerisme dan Tubuh

            Masyarakat kapitalisme akhir dalam mengonsumsi suatu barang atau jasa tidak lagi hanya berdasarkan nilai guna semata, namun juga berdasarkan nilai tanda. Eksistensi seseorang dilihat berdasarkan pembedaan komoditas yang dikonsumsinya. Terdapat sistem tanda dan status sosial dibalik komoditas yang dikonsumsi oleh seseorang. Selain itu, manusia mempunyai kecenderungan dalam mengonsumsi suatu komoditas lebih memilih merek tertentu dibandingkan dengan merek yang lain meskipun, komoditas tersebut mempunyai nilai guna yang relatif sama. Peran media massa melalui program iklannya juga turut memberi pengaruh dalam membujuk masyarakat agar mengonsumsi suatu komoditas tertentu. Korporasi yang bekerjasama dengan media massa menentukan bagaimana tren konsumsi yang berkembang di masyarakat dan membuat standar-standar tertentu. Melalui mengonsumsi suatu tanda seseorang dapat dikategorikan dalam suatu status ataupun kelas sosial tertentu.

Baudrillard (1970) dalam The Consumer Society; Myths and Structures menyatakan bahwa tubuh adalah objek konsumsi yang terbaik. Tubuh dalam hal ini bukan hanya mengacu pada tubuh sebagai entitas biologis semata namun juga mencakup gaya berpakaian, cara berdandan dan cara membersihkan tubuh. Tubuh adalah pusat dari konstruksi individu dan identitas suatu kelompok dalam produksi tatanan sosial (Les Back dkk, 2012). Dalam kajian sosiologi budaya tubuh adalah kunci dalam memberikan informasi terkait dengan ras, etnisitas, gender, serta isu seperti subculture style, musik dan lain-lain. Les Back dkk (2012) juga menyatakan bahwa tubuh adalah sistem simbol dalam konstruksi tatanan sosial dan makna, serta obyek dimana diri dibentuk dan diakui oleh orang lain. Keterkaitan antara tubuh dan konsumerisme juga dinyatakan oleh Paul du Gay (1997 dalam Kushendrawati 2006), kebanyakan konsumen dalam melakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan identitas diri.

Konteks Sosio-Historis Counterculture

            Pasca perang dunia kedua terjadi krisis ekonomi di antara negara peserta perang. Pembiayaan selama perang yang mencakup pembiayaan pasukan dan senjata perang telah menguras sumber daya bagi negara peserta, salah satunya adalah negara Inggris. Dalam konteks negara Inggris krisis ekonomi yang terjadi membuat pemerintah Inggris harus merumuskan kebijakan yang tepat dalam upaya memulihkan perekonomian negara kembali. Salah satu kebijakan tersebut adalah kerjasama ekonomi antara negara Inggris dengan sekutunya Amerika Serikat.

Kebangkrutan ekonomi di beberapa negara di Eropa, termasuk Inggris merupakan ketakutan terbesar bagi Amerika Serikat, karena dengan keadaan seperti ini akan dengan mudah masuk dan berkembangya pengaruh komunisme di negara-negara Eropa Barat oleh Uni Soviet (sekarang Republik Rusia) pada saat itu (Prasetyo 2000). Dalam keadaan yang seperti itu pengaruh komunisme akan mudah menyebar, karena akan menumbuhkan kesadaran dan solidaritas bagi para buruh dan petani yang menuntut perbaikan ekonomi. Dalam rangka membendung pengaruh komunisme yang berkembang di Eropa dan membantu negara-negara sekutunya Amerika memberikan dana bantuan dan kerjasama ekonomi. Peningkatan perdagangan luar negeri dan pembangunan pabrik-pabrik terus ditingkatkan pemerintah Inggris untuk memulihkan kondisi ekonomi. Selama mengikuti program ala Amerika tersebut cukup cepat membantu pemulihan ekonomi Inggris. Perkembangan finansial Inggris naik hingga 30% dari tahun 1948 sampai 1952 (Keylor, 1996 dalam Prasetyo 2000).

Pembangunan pabrik-pabrik di Inggris membuka banyak lapangan kerja baru. Dalam kondisi tersebut muncullah kelas pekerja yang didominasi oleh orang-orang muda. Tuntutan pemerintah (state) mengenai target pemulihan ekononomi memberikan dampak tersendiri bagi pihak lain, khususnya bagi kelas pekerja. Ide untuk memulihkan kondisi ekonomi, membuat pemerintah dan korporasi terpaku dalam pemikiran pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga berkembanglah kapitalisme. Kapitalisme telah mengeksploitasi dan menindas kelas pekerja untuk memenuhi target pemulihan. Kondisi tersebut semakin kompleks ketika imigran Afrika dan Asia masuk dan mencari pekerjaan di Inggris sehingga memunculkan konflik ras pada saat itu. Permasalahan tersebut hanya ditanggapi dingin oleh pemerintah, yang seakan-akan membiarkan rasisme berkembang.

            Kelompok kelas pekerja yang banyak di dalamnya orang-orang muda mempunyai semangat perlawanan dan perubahan dalam hidupnya. Berbagai bentuk perlawanan terhadap masalah sosial yang berkembang di Inggris dilancarkan bagi pemerintah. Ide dan aktivitas tersebut terwujud dalam Punk. Hebdige (1979, dalam Prasetyo 2000) menyatakan bahwa kelahiran punk pertengahan tahun 70’an menjadi sebuah bentuk ide dan perilaku perlawanan orang muda dari kelas pekerja terhadap pemerintah yang teracuni kapitalisme, dengan alasan pemulihan ekonomi negara mereka melakukan eksploitasi, penindasan dan diskriminasi terhadap kelas pekerja. Salah satu bentuk perlawanan dan kritik sosial kelompok punk mewujud dalam musik punk yang awalnya sejenis rock and roll. Namun seiring perkembangannya musik punk juga banyak digabung dengan musik beraliran reggae sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap perjuangan orang kulit hitam di Inggris. Kelompok punk dalam bentuk perlawanannya juga dimanifestasikan dalam gaya penampilannya khas. Orang-orang punk menyebut dirinya dengan anti-fashion dan semangat do it yourself (D.I.Y). Konsep D.I.Y ini menekankan pada kemandirian agar tidak bergantung kepada kaum kapitalis (Stevenson, 1978 dalam Prastyo).

            Sementara itu pada dekade 60’an terjadi peristiwa dan pergolakan sosial-politik di Amerika Serikat. Pada saat itu merupakan puncak dari budaya kaum muda (youth culture) yang mana pada tahun tersebut mereka menyebutnya dengan Flower Generation yang bergaya hidup hippies[1]. Generasi tersebut adalah generasi yang orang tuanya lahir dan  dibesarkan dalam dekade 1930-1940 (Suhelmi, 2004). Generasi 1930-1940’an merupakan generasi yang hidup dengan berbagai persoalan sosial dan trauma psikologis yang diakibatkan dari Perang Dunia I dan II, depresi ekonomi, kekejaman militerisme, merajalelanya totalitarianisme dalam bentuk komunisme dan fasisme. Sementara flower generation lahir dalam kondisi yang makmur dan sejahtera pasca krisis. Kemakmuran ekonomi tersebut membuat generasi tersebut mempunyai gap dengan generasi orang tua. Mereka mempertanyakan segala bentuk kehidupan konservatif dan hegemoni orang tua mereka terhadap diri mereka. Otoritas orang tua terhadap anak dianggap eksploitatif, bersifat menindas dan tidak berbeda dengan perbudakan yang dilembagakan (Suhelmi, 2004).

Bagi generasi ini modernitas dan kapitalisme dianggap telah menimbulkan berbagai permasalahan kemanusian. Manusia hanya dianggap sebagai mesin pencetak uang, egois, individualistis dan merusak relasi-relasi sosial. Etika protestan juga dituduh mendukung berkembangnya kapitalisme di Amerika Serikat. Hal tersebut disebabkan oleh disadari atau tidak prinsip kerja keras dan rasionalitas yang diajarkan oleh Protetanisme mendorong kaumnya untuk mengakumulasi kekayaan sebesar-besarnya. Selain itu doktrin Protetstan yang melarang hubungan seks diluar nikah sebelum disetujui oleh gereja dianggap telah merusak insting alamiah manusia seperti kebebasan seks. Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi, juga berbahaya bagi eksistensi manusia.

Gaya hidup hippies yang berkembang menganut prinsip dekat dengan alam. Mereka tinggal di pantai, hutan dan semak belukar. Mereka mendirikan bangunan di atas pohon yang tinggi, tidak mengenakan busana dan melakukan seks bebas. Dengan hidup secara komunal mereka percaya akan mendapat kehangatan sosial dan kebersamaan yang tidak didapatkan dalam kehidupan modern kapitalistik. Mereka juga menyukai musik-musik rock atau punk yang di dalam liriknya menolak kemapanan dan bentuk perlawanan mereka atas tatanan sosial yang telah mapan. Mereka menolak kemapanan karena kemapanan itu membuat manusia tidak dinamis dan mati secara kultural (Suhelmi, 2004).

Counterculture Menjadi Budaya Konsumsi

Pemberontakan budaya tandingan oleh kaum hippies tidak menunjukkan penolakan terhadap budaya konsumtif masyarakat Amerika (Heath dan Potter 2005). Mereka memilih membeli mobil VW Beetle untuk menunjukkan penolakannya terhadap budaya massa di Amerika pada tahun 60’an. Budaya massa tersebut ditandai oleh adanya ekspansi pasar mobil T-Ford yang begitu populer di kalangan masyarakat Amerika serta diproduksi secara masal. Dalam kompetisi pasar perusahaan mobil tersebut menjadi jalan bagi Volkswagen[2] untuk memasuki pasar Amerika dengan jargonnya : Wanna show people that you’re not just a cog in the machine? Buy our car! (Heath dan Potter 2005). Pemberontakan yang dilakukan oleh hippies tidak berjalan dengan baik. Dalam istilah Heath dan Potter culture jamming yang dilakukan oleh hippies menggunakan jalan yang sama dengan apa yang mereka lawan. Tidak lagi terdapat ketegangan antara ideologi yang disebarkan tahun 60’an (Hippies) dengan ideologi yang disyaratkan oleh sistem kapitalisme.

Dalam dunia musik kecenderungan musik alternatif untuk melawan musik mainstream mulai terlihat sejak kemunculan Punk di Inggris tahun 70’an. Berawal dari Kurt Cobain seorang frontman band Nirvana yang pada awalnya mengidentikan dirinya sebagai seorang punk rocker. Berawal dari ideologi Punk yang dimilikinya Kurt Cobain terlibat dalam industri musik alternatif, komposisi musik yang awalnya disebut hardcore, telah diberi brand dan terjual jutaan kopi di pasaran sebagai grunge. Skena musik alternatif yang sudah terjual di pasaran menjadi mainstream. Album Nirvana yang berjudul Nevermind telah menduduki peringkat pertama dalam tangga Billboard di Amerika. Cobain sebagai seorang penganut counterculture merasa telah melanggar komitmennya sendiri. Pada tahun 90’an setelah keluarnya lagu I Hate Myself and Want To Die, Cobain memutuskan untuk bunuh diri. Bunuh diri dipilihnya sebagai bentuk telah hilangnya sebagian integritas yang dimilikinya dan menghindari sell-out secara total (Heath dan Potter 2005). Dia meyakini bahwa punk rock is freedom, dan salah satu pesan yang ditulisnya di secarik kertas tepat di sebelah mayatnya adalah “Better to burn out than fade away.”

Simbol atau tanda yang digunakan seseorang dapat menginformasikan bahwa mereka termasuk dalam suatu identitas kelompok tertentu dalam masyarakat. Kelompok punk skinhead di Inggris misalnya memiliki ciri khas dalam gaya penampilannya. Simbol atau tanda yang terdapat dalam gaya berpakaian punk skinhead digunakan sebagai media informasi bagi orang lain untuk menunjukkan ekspresi perlawanannya terhadap kapitalisme. Mereka mengenakan celana ketat, sepatu boots, jaket dan rambut cepak yang memberikan gambaran kelas pekerja yang tertindas di Inggris. Sepatu boots yang digunakan oleh anak punk  skinhead tersebut mempunyai merek tertentu yaitu Doc Martens dan Blundstones. Selain itu, terdapat celana jeans yang kebanyakan digunakan oleh kelompok skinhead dengan merek Levi’s 501 yang awalnya digunakan oleh kelas pekerja. Saat ini merek-merek tersebut menjadi terkenal dan menjual di pasaran terutama dalam kalangan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat. Bahkan untuk memiliki sepatu dan jeans tersebut harus membelinya dengan harga yang tidak murah. Ide perlawanan serta sisi minoritas dari counterculture punk membuat brand produk tersebut terlihat berbeda dari yang lain dan bersifat menjual. Hal ini juga mengarah pada, apabila seseorang ingin diakui sebagai bagian dari suatu counterculture mereka harus terlebih dahulu membeli dan mengonsumsi suatu produk industri tertentu.

Kesimpulan

Terdapat kontradiksi ketika counterculture mengartikulasikan perlawanannya dalam bermusik dan berpenampilan. Ide tentang perlawanan terhadap tatanan atau sistem sosial dominan (modernitas kapitalistik) menempuh cara yang sejalan dengan  sistem itu sendiri. Counterculture menjadi semakin conform dengan zamannya, dan tidak lagi menjadi ancaman terhadap sistem, karena mereka adalah sistem itu sendiri. Baik musik maupun cara berpenampilan counterculture menjual di pasaran dan semangat pemberontakan itu sendiri berubah menjadi semangat untuk mengonsumsi. Aktivitas konsumsi tersebut dilakukan sebagai cara agar seorang penganut counterculture diakui oleh orang lain tergabung dalam suatu identitas kelompok tertentu. Tanda atau simbol untuk mengekspresikan pemberontakan atau perlawanan diperoleh dengan cara mengonsumsi suatu produk industri tertentu.

Daftar Pustaka :

Agung, Prasetyo. 2000. Deskripsi Kelompok Anak Punk di Bandung. Depok: Skripsi UI

Back, Les dkk. 2012. Cultural Sociology : An Introduction. West Sussex: Willey Blackwell

Baudrillard, Jean. 1970. The Consumer Society: Myth and Stuctures. Thousand Oaks: Sage            Publications

Hadi, Ahmad Fikri. 2008. Perkembangan Musik Punk di Amerika Serikat Tahun 1974-1980.        Depok: Skripsi UI

Heath, Joseph dan Potter, Andrew. 2005. The Rebel Sell: How Counterculture Became     Consumer Culture. Ontario: Capstone Publishing Limited

Jenks, Chris. 2004. Subculture: The Fragmentation of The Social. London: Sage Publications

Kushendrawati, Selu Margaretha. 2006. Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme        Global: Fenomena Budaya dalam Realitas Sosial. Depok: Makara, Sosial Humaniora    UI

Suhelmi, Ahmad. 2004. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Desmond, John, McDonagh, Pierre dan O’Donohoe, Stephanie. 2001. Counterculture and            Consumer Society. Jersey: Harwood Academic Publishing

Prisma (Majalah). 2012. Kelas Menengah Indonesia : Apa yang Baru? Vol. 31, No.1.        Jakarta : LP3ES

Sejarah Volkswagen. Diunduh Pada 23 Desember 2013             (http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/otomotif/2013/04/07/398/Sejarah-        Volkswagen)

Mod and Skinhead Clothing. Diunduh Pada 23 Desember 2013. (http://www.jeanwise.co.uk/cat/mod-and-skinhead-clothing-993)


[1] Hippies merupakan sebuah istilah untuk kelompok kaum muda yang menentang nilai-nilai sosial yang telah mapan dalam masyarakat, sebagai bentuk pemberontakan terhadap institusi-institusi dasar ( seperti keluarga, pemerintah, agama, sistem pendidikan dan lain-lain) yang ada dalam masyarakat. Istilah hippies mulai populer sejak tahun 60’an. (Yablonski (1994) dalam Hadi (2008)). Kelompok hippies termasuk dalam salah satu bentuk gerakan New Left yang mempunyai pandangan bahwa  kapitalisme dan modernitas telah melahirkan distorsi-distorsi kemanusiaan dan penindasan (Suhelmi, 2004).

[2] Perusahaan otomotif asal Jerman (suaramerdeka.com)

Leave a comment